Jumat, 27 Juni 2008

Cerita Edisi Lalu

Di UjUnG Tanduk

Hotel Pangrango, pukul 4 sore

DISINI saya berdua, bersama sahabat saya, Fifi sedang membicarakan kamu. Karena setiap kali nama kamu disebut membuat saya jadi tak menentu. Tahukah kamu, saya kerap tertegun dalam tatap kosong tanpa fokus sebab bayang sosok kamu selalu muncul tiba-tiba diluar kehendak saya. Di sini, di pelupuk mata saya, menghalangi segala pandang dan akhirnya terlarut. Kadang saya tersenyum sendiri mengagumi kamu.

Ocad, tidak tahukah kamu, sering kali saya tiba-tiba merasa gentar dalam hati yang berdebar ketika kamu dihadapan saya. Bukankah pernah kamu meraa heran dengan sikap saya? Saya berdebar. Debar seperti ketika kita memulai sebuah pertaruhan memilih hanya yang benar diantara yang salah. Apabila kita memilih yang salah berarti kita kalah. Tetapi keduanya (benar dan salah) telah berbaur menyatu dan tampak sama dalam pandangan kita. Bagaimana cara membedakannya? Namun yang terjadi pada saya kemudian, saya kadang mengutuki diri atas sikap bodoh saya, seperti sebuah kesalahan yang berujung sesal, barangkali sebuah dosa yang terlanjur. Hal itu membuat saya menjadi menyesal atau memalukan. Maka saya sekarang membicara-kan kamu tanpa kehadiran kamu, sebab saya tidak pernah bisa berbicara dihadapan kamu secara langsung:


“Pada laki-laki hanya terdapat tiga hal yang membuat perempuan tidak bisa lari darinya; kesetiaan cintanya, pengorbanannya, dan kepuasan yang diberikannya, dalam konteks ini maksud saya adalah kebutuhan biologis.” Demikian, Fifi berujar dengan sesaat perempuan itu menoleh pada saya lalu beralih pada dedaunan berbingkai jendela.

“Nah, apakah Ocad memberimu satu diantaaranya, dua diantaranya, atau keseluruhannya?” tanyanya kemudian.

Saya tidak langsung menjawab. Saya mendapat kesan pendapat saya telah dibatasi. Jawaban yang harus saya lontarkan telah ia plot begitu saja.

Tidak seperti biasanya, ia pernah begitu bersemangat menjelaskan pertanyaan yang saya ajukan kepadanya. Barangkali sekarang ia sedang tidak ingin berbagi dengan saya. Saya harus mengakui diri bahwa saya memang selalu banyak nanya kepadanya yang membuatnya kini mungkin begitu kesal dengan pertanyaan saya. Fifi, tidak tahukah kamu bahwa hati saya sedang galau?

Tidakkah kamu ingin menolong saya–saya bertanya untuk meyakinkan diri.

Fifi menoleh kepada saya dengan kedua halisnya yang hampir bertemu, “Aku sedang mencoba menspesifikkan masalah kamu, Uci.” Agak tinggi ia bersuara.

Tuh kan, betul kata saya. Ia sedang tidak mau berbagi dengan saya. Agaknya Ia sedang kesal kepada saya.

Lalu sebentar saya berpikir. Rasa-rasanya ketiga pilihan jawaban darinya tidak ada yang bisa saya pilih. Kami tidak sedang betul-betul bercinta bila saya harus menjawab kesetiaan Ocad kepada saya. Bila saya harus memilih jawaban pengorbanannya, Apa, ya? sepertinya belum ada pengorbanan Ocad bagi saya. Pun begitu, bila saya harus mengiyakan pilihan jawabannya tentang kepuasan biologis, ih, rasa-rasanya jauh sekali kalau harus begituan. Dan saya masih perawan.

Setiap kali namanya disebut tiba-tiba menghadirkan rasa gentar pada diri saya, sebuah rasa yang terbangun dari rasa bahagia yang ganjil dari dalam diri saya. Tidakkah kau.

Tahun 1999.

Saya masih ingat. Tidakkah kamu masih ingat:

Ocad satu tahun lebih tua dari saya. Kami berada dalam sebuah lingkaran kehidupan sekolah menengah ketika itu. Ia pinter sekali dalam mata pelajaran Biologi juga pelajaran hitungan; Fisika, Kimia, dan Matematika. Hal itu tidak mengherankan karena dari dulu semenjak ia masih SMP, sudah berkali-kali ia mengikuti lomba-lomba sains dan pada seleksi olimpiade kemarin ia berhasil menuju seleksi tingkat nasional namun akhirnya kalah. Walau begitu, tentu saja hal itu tetap merupaka sebuah prestasi, bukan?

Ketika kemudian Dinas Pendidikan kota menetapkan enam belas murid dari sekolah yang berbeda-beda sebagai calon utusan olimpiade sains ke tingkat provinsi untuk Fisika, Kimia, Matematika, dan Biologi, prestasinya telah menghantarkan dia sebagai duta kota. Saya bersama dua teman lainnya, yang berlainan sekolah itu dijadikan satu tim bersama Ocad. Begitupun dengan enam belas siswa lain yang telah terbagi dalam empat tim. Kami tim Biologi. Karena Ocad lebih berpengalaman, ia menjadi pemimpin sekaligus pembimbing (tutor sebaya) dalam kelompok kami. Dari situ pula Ocad dan saya, yang berlainan sekolah itu, untuk pertama kalinya saya dan Ocad bertemu. Kesan pertama saya tentang darinya adalah: ia ramah dalam senyum lebar yang selalu tampak tulus pada siapapun.

Sebulan menjelang lomba, adalah waktu pemantapan kemampuan inuvidual anggota kelompok. Saya dibekali seabreg soal-soal mulai soal bekas hingga soal up date yang diperoleh dari internet. Kerjakan itu semua di rumah dan bawa permasalahan ke forum diskusi kalau ada, begitu kata pembina. Saya benar-benar sendirian. Namun pada satu ketika, saya sempat mengutuki ketidakmampuan diri mengerjakan soal-soal itu. Barangkali saya sudah mencapai titik jenuh. Hari-hari saya seperti dihadapkan pada setumpuk masalah. Dalam sendiri saya kerap memertanyakan diri tentang kemampuan saya. Ada keraguan dalam diri. Tapi kenapa saya dipercaya untuk ikut lomba. Bagi dinas mungkinkah hal itu adalah harapan prestise atau prestasi? Sebaliknya, bagi saya hal itu adalah beban, karena baru kali ini selama saya bersekolah saya ikut-ikutan lomba.

Sedang apa kita? Mau apa kita? Bukankah ini sebuah upaya konspirasi untuk pihak lain atau diri sendiri? Saya begitu putus asa! Pada akhirnya semua masalah itu seperti mengakumulasi, berkumpul pada satu titik, menunggu buncah. Barangkali ketidakbersediaan saya menanggung beban sendiri, saya merasa harus mengadukan masalah kepada seseorang. Pikiran saya langsung tertjuju pada Ocad, karena dialah ketua. Tidakkah ketua harus tahu kesulitan anggotanya? Dan pada satu sore, hari ke lima menjelang lomba, saya–walau agak riskan–mengetuk pintu rumahnya dalam ucap salam. Dan kami mengobrol di teras rumahnya. Inilah kali pertama saya mendatangi dan berbicara dengan seorang lelaki tanpa orang ke tiga. Tetapi saya sudah berada di hadapannya. Kesadaran yang terlambat!

Mau belajar? – sapanya. Ia melihat saya memeluk buku-buku di dada saya.

Bukan, lalu dengan terlebih dahulu memohon maaf, saya kemukakakan permasalahan dan kesulitan saya. Dengan sabar ia mendengarkan saya dengan seksama dalam mengangguk-angguk. “Kamu kok tidak bilang-bilang.” ia berkomentar. Namun saya telah terlanjur menyerah ketika itu. Kemudian ketika saya–dengan agak ragu–mengungkapkan ketidak bersediaan saya menjadi anggota tim serta menyatakan mengundurkan diri, tiba-tiba ia menatap saya dan untuk pertama kalinya saya disentuh oleh laki-laki yang bukan muhrim: Ia menungkup tangan saya!

Refleks saya tepiskan tangannya. “Kau tidak sopan!” Saya menatapnya.

Seketika tampak perubahan pada raut wajahnya. Senyumnya berubah menjadi nganga mulut dalam tatap ketidaktahuan dan ketidakmengertian. Atau barangkali cara saya menatapnya tampak olehnya begitu ketus.

“Maaf, maaf.” Ujarnya. Dengan dua telapak tangan yang terbuka di depan dadanya kehadapan saya. Seperti sikap menyerah.

Lalu saya segera teringat bahwa diantara kami terdapat perbedaan (di sekolahnya tidak diatur tentang hubungan dengan lawan jenis dalam segala konteks. Tetapi di sekolah saya diatur tentang itu. Hal itu yang menyadarkan saya, ternyata saya dan dia terdapat perbedaan dalam cara berhubunga sosial) sehingga maksud dari sikap saya–yang telah saya lakukan meskipun refleks–menjadi tidak dipahami olehnya. Perilaku biasa bagi saya namun asing baginya.

Tiba-tiba saya merasa bersalah padanya. Tetapi apa yang harus saya lakukan? Saya jadi bingung: kata-kata tepat yang bagaimana yang harus saya katakan kepadanya? Sikap saya kepadanya telah membuat saya merasa bodoh saat itu.

Untuk sesaat, kami saling terdiam.

“Jadi, apa masalah Uci sekarang?” Terdangar tanyanya kemudian. Ia menyebut nama saya! (biasanya ia menyebut “kamu” pada siapapun, termasuk saya). Agak ganjil di telinga saya. Tetapi barangkali pemikiran logika saya yang menangkap pertanyaan itu begitu ganjil: bukankah tadi saya sudah menceritakan duduk per-masalahannya?

“Ya, itu tadi… yang saya ceritakan itu…” Gugup saya menjawab. Tiba-tiba hati saya berdebar. Tidak tahu kenapa. Lalu saya tiba-tiba mencoba menatap wajahnya. Seperti sebuah hasrat. Tetapi sejujurnya saya hanya berkeinginan membandingkan; apakah dia merasakan gugup seperti gugupnya saya?

Tetapi matanya menerawang ke arah lain. Dan ketika kami tiba-tiba saling tatap, saya merunduk seperti putri malu yang peka oleh sentuhan bahkan angin. Sebab saya baru merasakan suasana seperti ini: Tidak ada orang ketiga bersama seorang lelaki!

“Uci tunggu sebentar di sini ya, aku mau bawakan air.” Katanya kemudian. Ia tampak hendak beranjak.

“Gak usah. Saya pamit pulang aja.” Tiba-tiba saya memutuskan itu dengan terburu. Entah motifasi apa yang mendorongnya. Seperti tiba-tiba teringat sesuatu. Entahlah.

“Mau kemana?”

Lalu saya tersadar ternyata telah berdiri di hadapannya yang terduduk, tengadah menatap aneh pada saya. Buku-buku telah dipeluk di dada saya.

“Lho, kita kan belum membicarakan masalah kamu.” Ia menatap heran.

Saya menatpanya sesaat, lalu kembali merunduk. “Eu…, saya ikut. Ya, jadi ikut aja.” Pikiran saya tiba-tiba begitu tidak menentu. Dan saya segera berlalu dari hadapannya, bahkan saya lupa mengucapkan salam.

Namun semenjak kejanggalan itu, sikapnya terhadap saya menjadi berubah. Setiap kali kami bertemu, ia selalu menyempatkan memerlihatkan senyum lebarnya yang tampak tulus itu disertai sedikit anggukkan hormat pada saya. Saya mengangguk pula dalam senyum, lalu merunduk. Tetapi saya seperti mendapat kesan bahwa senyumnya yang khas itu khusus untuk saya saja sehingga membuat saya menjadi malu-malu dan deg-degan setiap bertemu dengannya. Sempat ketika ia bertanya perihal kesiapan saya dalam lomba, walaupun saya tahu bahwa itu pertanyaan prosedural namun saya lebih memilih menjawab dengan tidak menatap wajahnya. Semenjak itu saya tidak pernah bisa beradu tatap dengannya.

Karena semenjak itu saya merasa cara menatapnya kepada saya telah berubah. Mungkin saya terlalu berperasaan, barangkali ge-er: tetapi punggung tangan saya masih terasa hangat oleh genggamnya.

Seusai test saya terduduk di bangku depan kelas. Lesu. Soal-soal barusan begitu mengacaukan saya. Saya menyadari kurangnya persiapan. Saya merasa kalah dalam sebuah pertaruhan yang menentukan itu.

Saya lihat tempat sampah dihadapan saya, mengingatkan saya pada sesuatu yang tercampakan. Barangkali saya yang sebentar lagi akan terbuang. Saya dihadapkan pada jalan buntu. Pada sebuah titik yang tidak ada jalan kembali. Terjebak. Seperti sesal, yang kita tahu ia selalu menghadang tiba-tiba pada sebuah akhir kemudian ia berkata: kau telah tersesat! Seharusnya, sebelum-sebelumnya saya harus lebih sering berkonsultasi pada lelaki itu: Ocad.

Entahlah. Tetapi perasaan saya menjadi tidak menentu bila berhadapan dengannya. Pun begitu pada saat diskusi-diskusi yang ia pimpin; ketimbang penjelasan presentasinya, agaknya saya lebih banyak memerhatikan wajahnya yang tenang, senyumnya yang selalu ia sisipkan diantara runtut wicaranya yang tanpa sela. Pesonanya–entah kenapa ia tiba-tiba memesonakan–yang telah menghanyutkan isi pembicaraannya dan berlalu begitu saja dari kuping saya. Saya membayangkannya.

Bagaimana test-nya barusan, Uci?–suara itu mengejutkan saya yang hampir membuat saya terperanjat. Suara yang saya kenal. Datangnya dari belakang: Ocad! Tiba-tiba hati saya merasa senang dengan kehadirannya tetapi ada rasa was-was.

“Iya…, sulit.” Saya tidak menolehnya. Gugup memembuat kelu lidah saya.

Terdengar ia menghela nafas, “Kita hanya tinggal menunggu. Saya berharap kita bisa lolos.”

Saya terdiam. Saya berdebar.

“Kau sendiri bagaimana, Uci?” Ia duduk di samping saya. Sudut mata saya melihat ia sedang menatap saya.

“Saya tidak tahu.” Tidak ada kata lagi. Saya menggeser duduk saya berjarak dengannya. Degup jantung saya terasa tidak menentu. Saya mulai berdoa. Entah takut atau bahagia. Saya tidak tahu. Semuanya telah menyatu.

“Dalam keadaan seperti ini, feeling dan intusi begitu berguna.”

Perasaan, katanya. Kamu telah membuat perasaan saya tidak menentu saat ini.

Terdengar pengumuman dari nyala speaker: semua peserta test untuk segera berkumpul. Suara itu seperti menyelamatkan saya.

Alhamdulillah–saya berucap. Percakapan–bagi saya mendebarkan–berakhir.

“Sepertinya Uci optimis, ya?” Dia salah mengartikan.

Lalu Ocad mengajak saya. Saya refleks beranjak berdiri.

Tempat pensil saya jatuh.

Secara bersamaan kami memungut tempat pensil itu, Kami merunduk secara bersamaan, pipi kami besentuhan!

Saya tersipu dalam kesal atau malu? Kemudian saya tersadar Ocad telah menyodorkan benda itu pada saya. Dalam senyumnya itu, ia berkata-kata namun saya tidak tahu apa yang telah ia katakan: maaf atau permisi. Kekacauan membuat semuanya jadi kalut juga dengan pendengaran saya. Saya tiba-tiba bergegas memilih menuju toilet. Meninggalkan dia yang sedang memanggil-manggil saya.

Di tiolet untuk sejenak saya menenangkan diri. Mengingat kejadian barusan, saya mentertawakan diri: barusan seperti kejadian di sinetron-sinetron. Lalu saya merenungi diri seperti ada perasaan bersalah, seperti seseorang telah melakukan sebuah dosa karena keteledoran.

Tetapi ada perasaan bahagia yang aneh atau ganjil. Ada malu dalam berdebar, barangkali was-was. Semuanya berbenturan lalu menyatu dan akhirnya saya jadi begini: seperti orang gila!

Kenapa saya: mungkinkah saya telah jatuh hati padanya? Saya merasa heran, semenjak itu, ketika nama Ocad disebut, hati saya bergetar. Ada rasa bersalah, namun ada bahagia. Saya tidak mengerti. Apalagi bertemu dengannya, hati saya jadi kalang kabut. Aneh. Sebuah rasa yang terbangun dari rasa bahgia yang ganjil. Tetapi, apabila ternyata Ocad jatuh hati kepada saya, barangkali saya akan berbahagia. Namun, saya tidak tahu apakah saya layak bagi Ocad?

SEKARANG saya di hadapan Fifi, sahabat saya. Karena saya merasa bayangan-bayangan yang hadir diluar kehendak itu jarang mau pergi. Dan saya sudah tidak sanggup lagi didera ilusi atau halusinasi? Saya telah memilih dia untuk konsultasi karena dia kerap berkata tentang lelaki yang membuatnya lelah. Mungkin karena pendapatnya itu yang saya merasa ada kesamaan terhadap lelaki: lelah. Dia pernah bercerita banyak pada saya tentang kisah cinta dan hidupnya. Tentang lelaki (namun ia sering menyebutnya: jin) yang–setelah saya dengarkan kisahnya itu–begitu menyedihkan. Barangkali kisah itu datang dari sebuah penghianatan. Dia pernah dikalahkan. Sepertinya saya tidak berhak menceritakan kisah itu, karena tidak baik mengumbar aib seseorang. Saya pun tidak pernah menceritakan kisah bodoh saya padanya. Bagi saya hal itu membuat saya merasa malu. Karena memalukan diri, hal itu bisa jadi aib diri bagi saya. Karena aib, maka tidak boleh orang-orang tahu (kecuali yang saya percaya). Juga kepada Fifi. Entah kenapa, saya belum berani terus terang tentang bercerita perihal saya dan Ocad. Pengalaman hidup saya tidak sepadan dengan pengalamannya. Masalah ini besar bagi saya namun mungkin remeh baginya. Padanya ada yang sengaja saya sembunyikan. Tidakkah kisah saya baginya akan menjadi cemoohan atau lelucon–anak culun yang dungu. Demikianlah, maka saya memilih menyimpan cerita itu untuk tidak ia ketahui.

Ia telah mengajukan tiga pilihan jawaban yang menyulitkan kepada saya.

“Kamu mengajukan pertanyaan yang maksudnya tidak bisa saya mengerti. Saya pikir, pilihan itu cocok diajukan pada pasangan yang mau bercerai. Semua itu tidak termasuk kita di dalamnya, bukan?” saya menyerah.

Fifi tersenyum. “Pertanyaanku itu maksudnya ngasih pertimbangan pilihan buat kamu, apa kelayakan Ocad bagi kamu. Setidaknya dari sifat dan karakternya bisa kelihatan tipe seperti apa dia bagi kamu dan kamu suka yang mana?”

“Saya tidak mengerti.” Saya merasa kecerdasan tidak selalu relevan dengan masalah tertentu.

Ia menghela nafas dan dihembuskan dengan tergesa. Barangkali ia kesal. “Dia memberimu segalanya?”

“Dia penyabar.”

“Hmmmh?” Seketika halisya terangkat. Ia tersenyum, seperti mencemooh. Ia tidak segera memberi komentar melainkan beranjak menuju meja makan, menuangkan syirup merah Marjan Rose, mencampurkan air dari botol yang ia ambil dari lemari es, dan terakhir menambahkan es kemudian menyodorkan satu gelas kepada saya lalu duduk bersisian dengan saya.

“Kesetiaan tidak sesederhana itu.” Ia berujar dengan pandangannya pada televisi yang mati. Tetapi saya tidak mengerti dengan ucapnya

“Kadang laki-laki menyakitkan!”

“Kamu nakut-nakuti saya.”

“Kecuali satu yang paling berharga belum kau serahkan padanya.”

Saya berpikir sebentar. “Dia pernah mencium pipi saya.”

“Hah, Kau pernah ciuman?” Ia tersenyum. Seperti menemukan sesuatu dalam pikirannya. “Dan itu yang membuat kamu merindunya?”

Saya menggelengkan kepala. Tiba-tiba saya menjadi bingung. Ia salah mengerti. Namun sesuatu mengatup mulut saya untuk membuatnya mengerti. Saya malu. Saya mengutuki diri: betapa bodohnya saya.

Inilah saya, yang tidak tahu menahu tentang percintaan meskipun telah berulang kali mengalami haid serta berusia 17 tahun lebih, juga menutup mata pada tayangan dewasa atau pun filem porno yang kerap ditonton anak-anak lelaki.

“Kau merasa bahagia?” tanyanya kemudian.

“Tidak tahu.” Saya tidak tahu, apakah saya harus merasa berbahagia atau takut. Dan bagi saya tidak ada pilihan.

“Apa kau akan menolaknya kalau dia mengajakmu berkencan?”

“Kau gila, Fifi!” Pertanyaan itu datang begitu tiba-tiba. Seperti bunyi petir.

Ia meneguk sedikit dari gelasnya. Santai. “Rencana kedua laki-laki setelah dia berhasil dengan rencana pertama adalah berkencan!”

Rasa-rasanya Ocad tidak betul-betul merencanakan hendak mencium pipi saya. Tidakkah kami beradu pipi secara tak sengaja? Apakah itu berciuman?

“Lalu ia mengajak pergi dengan merayu kamu, hingga kamu tidur bersama-nya, di satu tempat sepi.”

Saya tersentak. Fifi menebak dengan begitu tepat. Saya menatapnya. “Ocad memang mengajak saya pergi. Ke Bandung, ke kampus ITB untuk mendaftar test TOEFL dan tidak hendak ke tempat sepi.”

Ia menaikan bahu dalam tatapnya pada saya. “Kau yakin Ocad hanya akan mengajakmu ke ITB? Bagaimana dengan hotel atau penginapan?”

“Ah, mana mungkin saya berani berbuat serendah itu.”

Ia tertawa. Agak berlebihan. “laki-laki, Ci...” ia terbatuk, “…punya berjuta cara untuk merayu, bila gagal, ia punya satu cara terakhir: memaksa! Kau siap?”

Saya terkesiap. “Apa yang harus saya lakukan?” Saya jadi takut.

“Jangan pergi dengannya! Gimana rasanya kesucianmu direngut lalu di-tinggalkan begitu saja.”

Saya terdiam sebab saya masih perawan. Tetapi, apakah mungkin Ocad sang pemilik senyum tulus akan berbuat serendah itu pada saya? Saya jadi bingung mana yang harus saya percaya antara Fifi dan perasaan saya. Tetapi hati saya seperti menanti terisi sesuatu, entah apakah itu.

Pada kaca lemari tampak membayang sosok setengah badan saya. Ada gelas cawan berisi syrup merah yang belum saya minum dan bunga plastik warna ungu terletak bersisian di samping sebelah kirinya. . Yang tampak itu mengingatkan saya akan lukisan jaman renaisance. Mungkin Monalisa versi baru. Lihatlah, sekarang Monalisa mengenakan jilbab. Saya pandangi wajah saya yang kemudian membuat saya jadi memertanyakan diri: apakah raut wajah saya termasuk tipe penggoda? Lalu, haruskah saya mengenakan cadar?

O, ada dua jerawat di dahi dan pipi saya. Tetapi saya haus.